PEMBAHASAN
HUKUM
ISLAM TENTANG KEPEMILIKAN
A.
Kepemilikan
1.
Pengertian
Milkiyah dan Dasar Hukumnya
Milkiyah berasal dari kata milkun berarti sesuatu yang berada dalam kekuasaanya.
Menurut istilah milkiyah (kepemilikan), adalah suatu harta atau barang
yang secara hukum dapat dimiliki oleh seseorang untuk dimanfaatkan dan
dibenarkan untuk dipindahkan penguasaanya kepada orang lain menurut kebiasaan
yang berlaku. Misalnya, hewan yang dimiliki seseorang dapat dimanfaatkan untuk
memenuhi kebutuhannya dan dapat dibenarkan secara hukum untuk dijual kepada
orang lain.
Islam
memperbolehkan untuk mempertahankan harta dari tindakan kejahatan orang lain.
sabda rasulullah SAW:
مَن وجد عين ما له عند
رجل فهو احق به ويثبع البيع من با إعه اي يرجع المشثري على البا
“Barang
siapa mendapat barang miliknya ada pada orang lain, ia berhak mengambilnya
kembali dan penjualannya ditanggung oleh orang yang menjualnya (maksudnya si
pembeli menuntut kepada si penjual)” (HR. Abu Daud dan Nasa’i).
Sesua dengan dalil di atas maka
mempertahankan hak milik itu menjadi kewajiban. Apabila harta yang dimiliki
diambil alih pihak lain dengan cara yang tida sah, meskipun telah dijual kepada
pihak lain maka si pemilik diperbolehkan untuk mengambil kembali karena jual
belinya tidak sah.
2.
Sebab-Sebab
Kepemilikan
Harta atau barang yang dimiliki seseorang dapat disebabkan hal-hal
sebagai berikut:
a.
Barang
atau harta itu umum, yaitu harta yang memang menurut kebiasaannya dapat
dimiliki bagi yang mendapatkanya. Contohnya: ikan yang ada di laut, hewan
buruan, harta rizak, pepohonan dihutan belantara. Benda-benda tersebut boleh
dimiliki oleh siapa saja yang mendapatkannya.
b.
Barang
atau harta yang dimiliki dengan melaksanakan akad, yaitu barang-barang atau
harta yang kepemilikannya harus didahului oleh adanya akad, seperti harta
diperoleh lewat akad jual beli, hibah, pinjam meminjam, dan hutang piutang.
c.
Barang
atau harta yang diperoleh lewat pewarisan, yaitu harta-harta atau barang yang
dapat menjadi milik karena ia mendapat bagian harta pusaka yang ditinggalkan
oleh ahli waris, atau mendapat wasiat untuk memiliki harta dari seseorang
pemberi wasiat kepadanya.
d.
Harta
atau barang yang dapat menjadi milik karena hasil pembiakan dari harta yan
dimiliki sebelumnya. Contohnya, anak kambing yang dipelihara, pepohonan dari
menebarnya biji pohon induk yang semula dimilki di kebun miliknya.
3.
Macam
Macam Kepemilikan
a.
Kepemilikan
penuh (milk al-taam), yaitu penguasaan dan pemanfaatan terhadap benda
atau harta yang dimiliki secara bebas dan dibenarkan secara hukum. Contoh:
Ahmad memiliki rumah, sawah, kendaraan, dan lain sebagainya. Ahmad dapat
menguasai dan memanfaatkan harta itu tanpa ada orang yang membatalkan.
b.
Kepemilikan
materi, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada
penguasaan materinya saja, tidak dibenarkan secara hukum untuk memanfaatkannya.
Contoh: Nisa menyewakan rumah atau sawah kepada Alfi, maka Nisa hanya berhak
menguasai materinya saja, sedangkan pemanfaatan dari harta tersebut berada
dalam penguasaan orang yang menyewa.
c.
Kepemilikan
manfaat, yaitu kepemilikan seseorang terhadap benda atau barang terbatas kepada
pemanfaatannya saja, tidak dibenarkan secara hukum untuk menguasai materi harta
itu. Contoh: Dian menyewa harta, yag berupa rumah atau sawah kepada Fita, maka
Fita hanya berhak mengambil manfaat dari barang (materi) tersebut saja,
sedangkan materi barang tersebut berada dalam penguasaan orang yang menyewakan.
kepemilikan
manfaat dapat berakhir apabila terjadi hal-hal sebagai berikut:
a)
Habis
masa sewa atau masa pemanfaatannya.
b)
Barang
yang dimanfaatkan itu rusak/hilang, sehingga tidak dapat digunakan lagi.
c)
Salah
satu pembuat akad meninggal dunia.
4.
Ihrazul
Mubahat dan Khalafiyah
a.
Ihrazul Mubahat
Ihrazul Mubahat ialah segala sesuatu yang mengakibatkan mubah
(boleh). Prinsip ini sebagai dasar sebab kepemilikan harta. Ihrazul Mubahat
Dimaksudkan sebagai kewenangan memiliki
harta yang tidak bertuan. Contohnya, binatang buruan, pepohonan yang hidup hidup
di hutan berantara, ikan yang hidup dilaut, atau kekayaan lainnya yang tidak
bertuan. Hal ini menunjukan boleh dimiliki dan dikuasai oleh siapapun yang
dapat menemukannya. Syarat ihrazul mubahat:
1) Benda atau harta yang ditemukan itu belum ada yang memilikinya.
Contohnya, ikan yang hidup di sungai atau di laut dapat ditangkap dan dimiliki
oleh siapa saja karena belum ada yang memilikinya.
2) Benda atau harta yang belum ditemukan itu memang dimaksudkan untuk
dimilikinya. Contohnya, burung yang menyasar dan masuk ke rumah bukan lantas
menjadi milik pemilik rumah tersebut. Dengan demikian, orang lain masih
memungkinkan dapat memiliki burung itu apabila dapat menangkapnya karena
didirikannya rumah itu untuk tempat tinggal bukan untuk menangkap burung liar.
b. Khalafiyah
Khalafiyah
adalah bertempatnya seseorang atau sesuatu yang baru di tempat yang lama yang
sudah tidak ada dalam berbagai macam haknya. Macam-macam khalafiyah:
1) Khalafiyah syakhsy ‘an syakhsy (seseorang terhadap seseorang)
Khalafiyah
syakhsy ‘an syakhsy adalah kepemilikan suatu harta yang ditinggalkan oleh
pewarisnya, sebatas memiliki harta bukan mewarisi hutang sipewaris. Harta yang ditinggalkan si pewaris disebut tirkah.
2) Khalafiyah syai’in ‘an syai’in (sesuatu terhadap sesuatu)
Khalafiyah
syai’in ‘an syai’in adalah kewajiban seseorang untuk mengganti harta/barang
milik orang lain yang dipinjam karena rusak atau hilang sesuai harga dari
barang tersebut yang dipinjam. Maka Khalafiyah syai’in ‘an syai’in ini disebut tadlmin
atau ta’widl (menjamin kerugian).[1]
5. Hikmah Kepemilikan
Ada beberapa hikmah disyariatkannya
kepemilikan dalam Islam, antara lain:
a. Terciptanya rasa aman dan tentram dalam kehidupan bermasyarakat.
b. Terlindunginya hak-hak individu secara baik.
c. Menumbuhkannya sikap kepedulian terhadap fasilitas-fasilitas umum.
d. Timmbulnya rasa kepedulian sosial yang semakin tinggi.
6. Ihyaul Mawat
a. Pengertian ihyaul Mawat
ihyaul Mawat
berasal dari dua lafadz yang menunjukan satu istilah dalam fiqh dan mempunyai
maksud tersendiri, yakni ihya berarti menghidupkan dan mawat
berasal dari maut yang berarti mati atau wafat. Menurut Sulaiman Rasyid bahwa yang
dimaksud dengan al-mawat adalah membuka
tanah baru. Maksud tanah baru adalah tanah yang belum dikerjakan oleh siapapun
yang berarti tanah itu tidak dimiliki oleh seseorang atau tidak diketahui
pemiliknya.
Ihyaul Mawat ialah upaya untuk membuka lahan baru atas
tanah yang belum ada pemiliknya. Misalnya, membuka lahan untuk lahan pertanian,
menghidupkan lahan tandus menjadi produktif yang berasal dari rawa-rawa yang
tidak produktif atau tanah tandus lainnya agar menjadi produktif.[2]
b. Hukum Ihyaul Mawat
Menghidupkan
lahan yang mati hukumnya jaiz (boleh) berdasarakan hadits Rasulullah SAW, sebagai
berikut;
مَنْ اَحْيَاأَرْضًا مَيِتَةً فَهِيَ
لَهُ وَلَيْسَ لِحِرْقٍ ظَا لِمٍ حَقٌ( رواه ابوداودوالنس ئى والترمدى)
“Artinya: Barang siapa yang menghidupkan tanah mati, maka tanah itu
menjadi haknya, orang yang mengalirkan air dengan dzalim tidak mempunyai
haknya”(HR. Abu Daud, An-Nasa’i dan Tirmidzi).
c. Syarat Ihya Al-mawat
Membuka
lahan baru (ihya al-mawat) harus terpenuhi syarat-syarat antara lain:
1) Sebagian tanah dikeluarkan dan diberikan kepada orang-orang yang
dapat (mampu) memanfaatkannya dan menjaganya.
2) Hak guna usaha, yaitu tanah tersebut diberikan kepada orang-orang
tertentu yang layak dan mampu menfungsikannya. Hasilnya untuk pengelola, tetapi
tanah tersebut bukan atau tidak menjadi hak milik. [3]
d. Hikmah Ihyaul Mawat
1) Mendorong manusia untuk bekerja keras dalam mencari rezeki.
2) Munculnya rasa kemandirian dan percaya diri bahwa didalam jagad raya ini
terdapat potensi alam yang dapat dikembangkan untuk kemaslahatan hidup.
3) Termanfaatkannya potensi alam sebagai manifestasi rasa syukur kepada
Allah atas kemampuan manusia dalam bidang IPTEK.
B. Akad
1. Pengertian dan Dasar Hukum Akad
Akad menurut bahasa memiliki beberapa arti, yakni arrabtu berarti ikatan mengikat,
‘aqdatun artinya sambungan dan al-‘ahudu artinya janji. Sedangkan menurut istilah
adalah transaksi atau kesepakatan antara seseorang (yang menyerahkan) dan orang
lain (yang menerima) untuk pelaksanaan suatu pembuatan hukum dengan cara
tertentu yang dilakukan untuk sahnya sebuah
perbuatan. Dasar hukum
dilakukannya akad firman Allah SWT:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَوْفُوا بِالْعُقُودِ أُحِلَّتْ
لَكُمْ بَهِيمَةُ الأنْعَامِ إِلا مَا يُتْلَى عَلَيْكُمْ غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ
وَأَنْتُمْ حُرُمٌ إِنَّ اللَّهَ يَحْكُمُ مَا يُرِيدُ (١)
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu.
Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang
demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan
haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya”
Berdasarkan ayat tersebut dapat dipahami
bahwa melakukan isi perjanjian atau akad itu hukumnya adalah wajib.
2. Syarat dan Rukun Akad
a. Syarat akad
1) Syarat orang yang bertransaksi antara lain; berakal, baligh, mumayyis
dan orang yang dibenarkan secara hukum untuk melakukan akad.
2) Syarat barang yang akan diakadkan, antara lain; bersih, dapat
dimanfaatkan, milik orang yang melakukan akad, dan barang itu diketahui
keberadaannya.
3) Syarat sighat adalah ijab dan qabul dilakukan dalam satu majelis, ijab
dan qabul harus ucapan yang bersambung, dan ijab dan qabul harus merupakan
pemndahan hak dan tanggng jawab.
b. Rukun akad
1) ‘Aqid ialah orang yang berakad, dua orang atau lebih yang melakukan akad
2) Ma’qud ‘alaih ialah sesuatu
yang diakadkan.
3) Maudhu’ al ‘aqd tujuan atau maksud pokok mengadakan akad.
4) Sighat al ‘aqd ialah ijab dan qabul.
3. Macam-macam Akad
a. ‘Aqad Munjiz yaitu akad yang dilaksanakan langsung pada waktu selesainya akad.
b. ‘Akad Mu’alaq ialah akad yang didalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat yang
telah ditentukan dalam akad.
c. ‘Akad Mudhaf ialah akad yang dalam pelaksanaannya terdapat syarat-syarat
mengenai penanggulangan pelaksanaan akad, pernyataan yang pelaksanaannya
ditangguhkan hingga waktu yang ditentukan.
4. Cara Akad
a. Akad lisan, yaitu akad yang dilakukan dengan cara pengucapan lisan.
b. Akad tulisan, yaitu akad yang dilakukan dengan cara tertulis, seperti
akad yang tertulis di atas kertas bersegel atau akad yang melalui akta
notaries.
c. Akad perantaraan utusan (wakil), yaitu
akad yang dilakukan dengan melalui utusan atau wakil kepada orang lain
agar bertindak atas nama pemberi mandate.
d. Akad isyarat, yaitu akad yang dilakukan dengan isyarat.
e. Akad ta’athi (saling memberikan), yaitu jual beli tanpa menggunakan
akad,cukup dengan saling menyerahkan barang dan alat pembayar karena harga
sudah diketahui berdasarkan kebiasaan. [4]
5. Hikmah Akad
a. Munculnya peratanggungjawaban moral dan material.
b. Timbulnya rasa ketentraman dan kepuasan dari kedua belah pihak.
c. Terhindarnya perselisihan dari kedua belah pihak.
d. Terhindar dari pemilikan harta secara tidak sah.
e. Status kepemilikan terhadap harta menjadi jelas.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi,
Hendi. 2010. Fiqh Muamalah. Jakarta: Rajawali Pers.
Rasyid
Sulaiman.2004. Fiqh Islam. Jakarta:
At-Tahairiyah.
Rasyid
Sulaiman.1976. Fiqh Islam. Jakarta: At-Tahairiyah.
Kanwil
Depag. 2004. Fiqih untuk Madrasah Aliyah. Jawa Tengah: CV. Gani &
Son.
Poskan Komentar (Atom)
Emperor Casino Review | €/$300 Welcome Bonus
BalasHapusEmperor Casino Review: Sign Up and Enjoy Your First Deposit งานออนไลน์ Bonus up to €/$300. Read our 카지노 review before 제왕 카지노 you go into our online casino!